Sabtu siang itu, kami berkumpul dikosan prepare buat naik
gunung sanggabuana yang berada di kabupaten karawang. Rencana pendakian ini
sudah direncanakan dan dipersiapkan jauh-jauh hari sebagai suatu refreshing
ketika sudah selesai mengadakan acara yang lumayan membuat mumet.
Letak Gunung Sanggabuana sendiri menjadi perbatasan dan
bagian dari beberapa kabupaten antara lain kabupaten Bogor, Purwakarta, Cianjur
dan Karawang. Jika dilihat dari arah karawang, gunung sanggabuana tidak
terlihat karena diapit dan terhalang oleh beberapa bukit dan juga gunung.
Untuk arah masuk dari karawang bisa melalui tempat wisata curug cigeuntis. Namun, awal mula jalur untuk pendakian itu letaknya sebelum ke curug cigeuntis dan jalurnya pun terbilang sempit cukup untuk motor. Dan biasanya para pendaki yang akan mendaki gunung sanggabuana memulai pendakiannya dari perumahan warga yang dijadikan tempat penitipan motor karena rata-rata para pendaki untuk menuju loji sendiri kebanyakan membawa kendaraan roda dua.
Pendakian kami dimulai pukul sekitar setengah 5 sore karena
kami sendiri berangkat dari karawang pukul 3 sorean. Kami berangkat 8 orang dan
menggunakan 4 motor. Dengan semangat dan rasa penasaran tinggi kami memulai
berjalan kaki dari penitipan motor di perumahan warga yang merupakan pos
terakhir untuk sepeda motor karena kesananya dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Ini merupakan pendakian pertama kami, Sawah-sawah yang berhamparan dan suguhan
pemandangan bukit-bukit yang terbentang menemani setiap langkah kaki yang kami
lalui juga gemercik aliran sungai yang begitu jernih yang jarang kami lihat
diperkotaan.
Istirahat Sejenak |
Subhanallah… itulah yang kami ucap ketika melihat
lukisan-lukisan alam yang begitu indah dan luas yang menyadarkan kita sebagai
manusia hanya bagian kecil dari alam yang begitu luas bahkan pikiran kita pun
tidak mampu menterjemahkan apa-apa saja yang ada di setiap sudut alam jagad
ini.
Tidak cuma sampai itu, sekitar 1-2 KM jalur awal pendakian
yang kami lalui merupakan sebuah desa dimana para penduduk desa yang mayoritas menggantungkan
hidupnya bertani dan berkebun melakukan aktivitasnya masih secara tradisional.
Hal contoh, seorang petani yang sedang membajak menggunakan sapi sawah sambil
bernyanyi lagu-lagu sunda dimana katanya lagu-lagu itu biasanya dinyanyikan
sebagai penyemangat saat membajak dan doa harapan agar sawah yang sedang
digarap dapat menghasilkan panen yang melimpah.
Langkah demi langkah kami tapaki dan tak terasa keringat
mengucur deras sehingga membasahi pakaian yang dikenakan. Jalan yang menanjak
cukup merepotkan dan membuat lelah di awal-awal kami, tak khayal setiap 200-400
M kami istirahat karena beberapa anggota sudah sangat capek.
Langit sore hari mewarnai perjalanan kami dengan layung
senjanya. Warna langit pun terlihat terang kekuningan seakan menerangi langkah
kami dari malam yang akan tiba dan menggelapkan jalur-jalur yang akan kami
lalui.
Selanjutnya, di sebuah gubuk yang kami temui saat diperjalan menjadi tempat istirahat untuk mempersiapkan peralatan dimalam hari seperti senter dan lainya, karena langit dan jalur-jalur yang kami lalui mulai gelap menjelang malam.
Kemudian perjalan kami lanjutkan, tak jauh dari tempat
istirahat yang tadi kami melihat sebuah rumah warga dengan obor kecil karena
listrik belum ada disini. Gonggongan anjing menyambut kami di kejauhan, tak
khayal membuat beberapa anggota panik karena takut anjing. Dengan sedikit
dorongan dan ketakutan dari beberapa anggota kami memberanikan diri melewati
anjing yang ada dirumah warga tersebut.
Setelah beberapa meter melewati rumah warga, tiba-tiba datang
seekor kucing yang berasal dari arah rumah warga mengikuti dan menemani selama
dalam perjalan. Ketika kami istirahat di tengah perjalanan, kucing itu pun ikut
berhenti dan bermain-main disekitar kami.
Pos Pertama, Sebuah Petilasan
Sekitar pukul 7 malam, kami melewati sebuah petilasan yang
dimana petilasan tersebut terdapat rumah juga warung, dan kami pun memutuskan untuk istirahat dan
mengisi ulang persediaan logistik yang hampir habis.
Kopi dan susu jahe menemani istirahat kami di warung ini,
karena perjalan yang cukup melelahkan dan udara yang mulai cukup dingin
ditambah persediaan rokok yang masih ada. Saat kami baru tiba pun sudah banyak
orang yang datang berziarah atau pun hanya sekedar lewat menuju puncak
sanggabuana. Pada malam hari pun, ada beberapa kelompok yang lewat untuk
mendaki pada malam hari.
Bersambung...
Bersambung...
Gunung Sanggabuana, Antara Misteri dan Kearifan Lokal (Part I)