Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya.
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu ? Maih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dn setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar diketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu di lupakna ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang di tertawakan bocah kecil atau yang digejolakan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan ? karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akakn bertemu kalau tidak di jembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.
Dewi Lestari (1998)
Jembatan Zaman