Rabu, 22 Februari 2012

Sajak Pertemuan Mahasiswa

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami ada maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik untuk siapa ?"

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung telah dimiliki orang - orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

RENDRA
( jakarta, 1 desember 1977 )

PEMIKIRAN EKONOMI MASA PRAKLASIK

A.    Zaman Yunani Kuno
Sesungguhnya persoalan ekonomi sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi, bukti-bukti konkret paling awal yang bisa ditelusuri ke belakang hanya hingga masa Yunani Kuno. Seperti yang sudah kita ketahui, kata “ekonomi” berasal dari penggabungan dua suku kata Yunani : oikos dan nomos yang berarti “pengaturan atau pengelolaan rumah tangga”. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Xenophone, seorang filsuf Yunani.

Pada masa ini sudah ada teori dan pemikiran tentang uang,bunga,ketenagakerjaan dan perdagangan. Bukti tentang itu dapat dilihat dari buku Respublika yang ditulis oleh Plato (427-347 SM). Dalam Negara ideal kemajuan tergantung pada pembagian kerja (divisiom of labor) yang timbul secara alamiah dalam masyarakat. Ada tiga jenis pekerjaan menurut Plato yang dilakukan oleh jenis manusia yaitu pengatur/penguasa, tentara dan para pekerja.

Pada Masa Yunani Kuno masyarakat sudah mengenal paham hedonisme, yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal paham Materialistik. Paham yang pertama kali digagas oleh aristippus ini menganggap bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup yang paling mulia dari setiap manusia.

Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato orang pertama yang melihat bahwa ekonomi merupakan suatu bidang sendiri, yang pembahasannya harus dipisahkan dengan bidang-bidang lain. Aristoteles juga merupakan orang pertama yang meletakkan pemikiran dasar tentang teori nilai (value) dan harga (price). Kontribusinya yang paling besar adalah pemikiranya tentang pertukaran barang dan kegunaan uang dalam pertukaran barang tersebut. Menurut pandangannya, kebuthan manusia tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya relative tanpa batas.

B.    Pemikiran Kaum Skolastik
Ciri utama dari aliran pemikiran skolastik adalah kuatnya hubungan antara ekonomi dan masalah etis serta besarnya perhatian pada keadilan. Hal ini tidak lain karena ajaran-ajaran skolastik mendapat pengaruh yang sangat kuat dari ajaran gereja.
Asumsi-asumsi mereka adalah bahwa kepentingan ekonomi adalah sub-ordinat dari pengorbanan dan bahwa perilaku ekonomi salah satu aspek perilaku pribadi yang terikat dengan aturan-aturan moralitas.
Tokoh utama dari aliran skolastik yaitu Albertus Magnus (1206-1280) dan St.Thomas Aquinas (1225-1274). Albertus Magnus seorang filsuf-religius dari Jerman, pemikirannya yang terkenal adalah tentang harga yang adil dan pantas. Jika seorang yang menetapkan harga melebihi biaya-biaya dan pengorbanan lain untuk menciptakan barang, berarti ia telah melanggar etika dan tidak pantas dihormati. Thomas  Aquinas seorang Teolog dan filsuf dari Italia, pemikiran tentan ekonominya dipengaruhi oleh Albertus Magnus, Aristoteles juga ajaran Injil. Dengan latar belakang ini tidak heran jika ia sangat mengutuk bunga dan memvonisnya sebagai riba dan orangnya pun disebut sebagai Pendosa.

C.    Era Merkantilisme
Merkantilisme berasal dari kata merchant, yang berarti “pedagang”. Menurut paham merkantilisme, setiap Negara yang berkeinginan maju harus melakukan perdagangan dengan Negara lain. Bagi penganut merkantilisme sumber kekayaan berasal dari perdagangan luar negeri. Paham ini banyak dianut di Negara-negara Eropa pada abad ke-XVI antara lain Portugis,Spanyol, Inggris, Prancis dan Belanda.
Tokoh-tokoh merkantilisme sangat banyak di antaranya Jean Boudin, Thomas Mun, Jean Baptiste Colbert, Sir William Petty dan David Hume.

D.    Mazhab Fisiokratis
Kaum Fisiokrat menganggap bahwa sumber kekayaan yang senyata-nyatanya adalah sumber daya alam. Ini yang menyebabkan aliran ini dinamai aliran physiocratism yaitu physic (alam) dan cratain atau cratos(kekuasaan) yang berarti mereka percaya pada hukum alam. Inilah yang menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer.

Tokoh utama aliran Fisiokratis adalah Francis Quesnay (1694-1774). Quesnay membagi masyarakat dalam 4 golongan (1). Kelas masyarakat produktif  yang aktif mengolah tanah seperti pertanian dan pertambangan (2).kelas tuan tanah (3).kelas yang tidak produktif terdiri dari saudagar dan pengrajin (4). Kelas masyarakat buruh/labor.

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Masa kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Indragiri Riau, berasal dari nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota. Sedangkan dari pihak ibunya, Saleha yang berasal dari nagari Situjuh, Limapuluh Kota [1] dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil masuk sekolah Holland Indische school (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[3]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[5] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Buku-buku

     Deru Campur Debu (1949)
     Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
     Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
     "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
     Derai-derai Cemara (1998)
     Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
     Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
Terjemahan ke dalam bahasa asing
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
     "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
     "Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
     Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
     "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
     The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
     The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
     Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
     The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Karya-karya tentang Chairil Anwar
     Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
     Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
     Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
     S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
     Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
     Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
     H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
     Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
     Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
     Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
     Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
     Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

W. S. Rendra


Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935; umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.wafat 6 agustus 2009.

Masa Kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu.

Pendidikan
            TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
            SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
            Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
            mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967). 

Rendra sebagai Sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Bengkel Teater

Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Penelitian tentang Karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan
            Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
            Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
            Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
            Hadiah Akademi Jakarta (1975)
            Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
            Penghargaan Adam Malik (1989)
            The S.E.A. Write Award (1996)
            Penghargaan Achmad Bakri (2006). 

Kontroversi Pernikahan, Masuk Islam dan Julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Beberapa karya
Drama
            Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
            Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
            SEKDA (1977)
            Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
            Mastodon dan Burung Kondor (1972)
            Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
            Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
            Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
            Lisistrata (terjemahan)
            Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
            Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
            Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
            Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
            Panembahan Reso (1986)
            Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Sajak/Puisi
            Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
            Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
            Blues untuk Bonnie
            Empat Kumpulan Sajak
            Jangan Takut Ibu
            Mencari Bapak
            Nyanyian Angsa
            Pamphleten van een Dichter
            Perjuangan Suku Naga
            Pesan Pencopet kepada Pacarnya
            Potret Pembangunan Dalam Puisi
            Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
            Rick dari Corona
            Rumpun Alang-alang
            Sajak Potret Keluarga
            Sajak Rajawali
            Sajak Seonggok Jagung
            Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
            State of Emergency
            Surat Cinta

Pramoedya Ananta Toer



Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa kecil
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

            13 Oktober 1965 - Juli 1969
            Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
            Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
            November - 21 Desember 1979 di Magelang 

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Bibliografi
Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
            Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
            Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
            Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
            Keluarga Gerilya (1950)
            Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
            Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
            Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
            Bukan Pasarmalam (1951)
            Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
            Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
            Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
            Gulat di Jakarta (1953)
            Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
            Korupsi (1954)
            Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
            Cerita Dari Jakarta (1957)
            Cerita Calon Arang (1957)
            Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
            Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
            Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
            Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
            Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
            Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
            Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
            Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
            Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
            Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
            Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
            Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
            Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
            Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
            Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
            Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
            Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
            Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
            Arus Balik (1995)
            Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
            Arok Dedes (1999)
            Mangir (2000)
            Larasati (2000)
            Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Senin, 20 Februari 2012

Cinta Manusia

bayangannya hilang membekas
berlalu bersama angin yang menyapu
bukan enggan mengukir suatu kisah
namun resah dan gelisah masih mencandu dalam hati
biarlah yang manis menjadi bingkaian masa lalu nan indah tuk dikenang
dan biarkan yang pahit membumbung tinggi bersama awan yang mempersembah hujan

cerita ini terlalu panjang buat ditulis
dan terlalu indah tuk dilupakan
perjalanan cinta kaum adam dan hawa
yang mewarnai ceritanya dengan lika-liku kehidupan
memapah waktu dalam lingkaran cinta......cinta manusia.

Ahmad Jamaludin
21:27, 06/01/2012

Matahari dan Peradaban

Apa yang pertama terlintas dipikiran anda tentang matahari ?.  Panas, bulat, api, pusat tatasurya atau anda punya pemikiran sendiri selain opsi yang saya berikan ??. Silahkan, tidak ada undang-undang yang membatasi seseorang untuk berfikir bebas, walaupun itu berfikir negative.  Berfikir, berimajinasi lalu tercipta sebuah pemikiran yang akan menjadi pondasi rencana atau impian bagi anda sendiri.

Dalam hal ini saya bukan ingin membahas  matahari dan kejadian yang sekarang hangat diperbincangkan yaitu tentang badai matahari. Bukan juga membahas dalam persfektif ilmu astronomi maupun ilmu pengetahuan alam mengenai kehidupan di Bumi. Namun saya ingin membahas matahari secara filosofi dan peradaban umat manusia.

Tidak masalah anda berasal dari agama mana ataupun kepercayaan anda apa, saya sendiri seorang muslim dimana dalam hal ini oleh guru ngaji atau guru spiritual saya pernah berkata “bahwa salah satu tanda kiamat yaitu Matahari terbit dari Barat”. Waktu itu saya masih kecil berfikir membayangkan matahari itu terbit dari barat, apalagi pada saat itu tahun 1999 dimana diramalkan akan terjadi Kiamat, tepatnya tanggal 19-09-1999. Hari itu merupakan hari yang mencekam bagi umat manusia, dimana-mana semua membicarakan hari itu sampai tak henti-hentinya setiap saat saluran televisi membawakan berita tentang hari kiamat. Pada malam hari saat memasuki tanggal 19, tidur saya kurang nyenyak dan tenang antara perasaan takut dan penasaran. Keluarga saya pun sama tidak bisa tidur pada malam itu, kakak saya bilang “bahwa subuh nanti dari arah timur akan ada kilasan cahaya yang terang benerang, entah itu sebuah ledakan atau cahaya indah terakhir yang diberikan Tuhan untuk manusia sebelum cahaya yang gelap yang membawa hura-hara di Bumi”. Saya sangat penasaran sehingga saya yang biasanya bangun siang pada saat itu saya bangun shubuh tepatnya pukul 4 pagi, saya diam didepan luar rumah yang kebetulan rumah saya menghadap ke arah timur. Saya menunggu cahaya yang diceritakan kakak saya itu, antara penasaran, takut juga dingin oleh embun. Sampai akhirnya pagipun tiba dan cahaya itu tak kunjung datang, entah saya harus bersyukur atau jadi tambah penasaran atau lagi apakah  saya sudah ditipu oleh kakak saya. Hhmmpptt...

Issue kiamat itu belum berakhir karena baru pukul 6-7an, banyak yang saya dengar bahwa puncak atau mulanya kiamat yaitu tepat semua waktu “angka 9” yakni “pukul 09:09:09, 19-09-1999”. Saya keluar rumah dan lihat tetangga semua tampak panik dan berdiam diri didalam rumahnya, saya berfikir ala kadarnya anak-anak 9 tahun antara akan terjadikah atau tidakkah ?. Pada saat itu setiap detik yang berdetak seakan suara Gong yang menggembar di setiap telinga para manusia, pada sampai akhirnya waktu yang tidak di inginkan itu tiba, semua berdoa diharapnya, menanti dipenasarannya,  lari ditakutnya dan sembunyi didosanya. Sepi, tenang, senyap, semua diam, semua menunggu, baikkah atau burukkah yang akan terjadi ? semua bertanya dan menanti.

Heheee.....Aduuuh...maaf eahh bahasannya jadi ngawur ke cerita saya pada saat itu, curhat nyasar jadinya..heee

Tapi ceritanya ada sangkut pautnya kan dengan bahasan ini ? Kalau anda masih ingat, apa yang terjadi dengan anda pada saat-saat kiamat 1999 itu ??. .silahkan curhat sendiri dulu eahh ...

Baik kita sambung lagi, kita garis bawahi matahari terbit dari barat adalah merupakan salah satu tanda dari kiamat. Memang kalau difikir secara logis atau persfektif ilmu astronomi matahari tidak akan terbit dari barat karena bumilah yang mengitari matahari dan berputar pada porosnya. “bayangkan anda memutar roda , kemudian anda tahan putarannya dan balikkan arah putarannya”, seperti itulah logikanya jika matahari harus terbit dari barat bukan dari timur lagi. Walaupun mungkin itu terjadi, berarti suatu saat nanti siang ataupun malam akan lama dan lama yang akhirnya berhenti yang kemudian akan berbalik. Satu pertanyaan yang mendasar adalah kapan bumi ini lamban dalam berputar dan kemudian berhenti ? sebelum ditetapkannya Tahun Masehi, manusia dulu sudah bisa menghitung putaran bumi, matahari juga kejadian-kejadian dilangit. Hasil perhitungan manusia dulu sampai sekarang hampir dan selalu sama, hanya yang membedakan adalah cara perhitungan, obyek juga kepercayaan, adat maupun budayanya.

Nahh...gimana anda bingungkan jika berfikir pernyataan tersebut dengan persfektif ilmu pasti ? hmmmppttt....sama saya juga bingung..heehee

Marilah kita samakan persfektif kita bahwa Matahari itu dalam hal ini adalah Peradaban. Anda akan menemukan titik terang disini.

Matahari terbit dari timur berarti Peradaban terbit dari timur, sekarang anda pikirkan Peradaban tempo dulu yang ada di timur !! nah saya tambah opsi pikiran anda tentang peradaban yang ada di timur, antara lain Zaman Mesir Kuno, Dinasti China, keKholifahan Islam, Hindu India, Yerusallem juga Benua hilang Atlantik yang konon berada di antara Asia dan Libya. Dari persfektif agama, Yahudi di Yerusallem, Kristen Yesus di Salib di Yerusallem, Islam lahir ditanah Arab, Hindu di India, Kong hu Chu di China, Budha di Asia. Ilmu pengetahuan Kertas pertama dibuat di China, Jam dibuat pada masa Kekholifahan Bani Abbasyiyah, Syeikh Al-farabi adalah yang membuka dan menyampaikan pemikiran-pemikiran dan catatan-catatan Aristoteles, Plato juga Sang Maha Guru Socrates.

10.000 tahun SM Masa Mesir Kuno sudah bisa dan mengenal pembuatan roti dan sudah mengerti sistem kepemerintahan, kebudayaan China adalah kebudayaan yang paling tua dan bertahan, Islam banyak memberi kontribusi dalam pengetahuan dan inspirasi kepada dunia pendidikan maupun kehidupan pada masa khilafah sampai masa Bani, Hindu India dengan kisah Mahabrata juga Khula Gu Khan juga masih banyak peradaban-peradaban timur yang  melahirkan peradaban sampai pada saat ini. Adalah menjadi suatu landasan teori berfikir dari sejarah-sejarah masa dulu bahwasanya Peradaban manusia itu lahir di Timur.

Pernah sering ingatkah kata orang tua dulu ? “kita ini di timur bukan di barat, berbudayalah dengan budaya orang timur bukan budaya orang barat”.  Muncul suatu pertanyaan lagi, ada apakah dengan budaya barat sehingga orang timur enggan ?? untuk ini silahkan anda berfikir sendiri......saya kasih gambaran anda sedikit ; sex, drugs, hedonis, liberal, etc.

Sekarang anda bayangkan jika Peradaban dari barat itu menjadi kiblat  peradaban umat manusia dimuka bumi. Apa yang akan terjadi ???. Tak ada yang tahu pasti, namun yang pastinya adalah sesuai apa yang kita bicarakan dari awal ketika Peradaban terbit dari barat atau Matahari Terbit Dari Barat.. itu bisa saja sebagai tanda Hari Akhir atau Kiamat.



Ahmad Jamaludin
23:53, 05/02/12